Sabtu, 31 Maret 2012


BAB  I
LATAR BELAKANG
       
 O’Neill meneliti mikrofilaria parasit ini di dalam kulit seorang penderita di Afrika Barat pada tahun 1875. Kemudian seorang dokter  Jerman menemukan cacing dalam benjolan kulit dari orang Negro di Ghana, Afrika Barat, lalu di namakan sebagai Filaria volvulus oleh Leuckard  1893. Tahun 1915 Robles menemukan cacing Onchocerca di Guatemala dan oleh Brumpt di identifikasi sebagai cacing Onchocerca caecutiens, tetapi kemudian di namakan cacing Onchocerca volvulus.

Hospes dan nama penyakit
         Parasit ini di temukan pada manusia. Penyakitnya di sebut onkoserkosis, river blindness, blinding filariasis              











BAB II
TAKSONOMI MARFOLOGI

Cacing dewasa hidup dalam jaringan ikat; melingkar satu dengan lainya seperti benang kusut dalam benjolan  (tumor). Cacing betina berukuran 33,5 – 50 cm kali  270 – 400 mikron dan cacing jantan 19 – 42 mm  kali  130 kali  210 mikron Bentuknya seperti kawat berwarna putih, opalesen dan transparan. Cacing betina yang gravid mengeluarkan mikrofilaria di dalam jaringan subkutan, kemudian mikrofilaria meninggalkan jaringan subkutan mencari jalan kekulit. Mikrofilaria mempunyai dua macam ukuranya yaitu 285 – 368 kali 6 – 9 mikron dan 150 – 287 kali 5 – 7 mikron. Bagian kepala dan ujung ekor tidak ada inti dan tidak mempunyai sarung. Bila lalat Simulium menusuk kulit dan mengisap darah manusia maka mikrofilaria akan tersimpan oleh lalat, kemudian mikrofilaria menembus lambung lalat. masuk kedalam otot toraks. Setelah 6 – 8 hari berganti kulit dua kali dan menjadi larva  infektif. Larva infektif masuk kedalam  probosis lalat dan dikeluarkan bila lalat  mengisap darah manusia. Larva masuk lagi ke dalam jaringan ikat menjadi dewasa dalam tubuh hospes dan mengeluarkan mikrofilari a.











                                                                 BAB III
SIKLUS HIDUP
    
            Brugia malayi lazim ditemui di China, India, Korea, Jepang, Filipina, Malaysia, dan tentu saja Indonesia. Sementara Brugia timori merupakan satwa khas Indonesia yang hanya bisa ditemui di kepulauan Timor. Mirip dengan W.bancrofti, Brugia malayi memiliki juga memiliki dua bentuk periodisitas. Bedanya, biasanya B.malayi dengan periodisitas nokturnal ditemukan di daerah pertanian dengan vektor Anopheles atau Mansonia. Sedangkan spesies dengan periodisitas subperiodik ditemuakn di hutan-hutan dengan vektor Mansonia dan Coquilettidia (jarang).
Prinsip patologis penyakit filariasis bermula dari inflamasi saluran limfe akibat dilalui cacing filaria dewasa (bukan mikrofilaria). Cacing dewasa yang tak tahu diri ini melalui saluran limfe aferen atau sinus-sinus limfe sehingga menyebabkan dilatasi limfe pada tempat-tempat yang dilaluinya. Dilatasi ini mengakibatkan banyaknya cairan plasma yang terisi dari pembuluh darah yang menyebabkan penebalan pembuluh darah di sekitarnya.
Akibat kerusakan pembuluh, akan terjadi infiltrasi sel-sel plasma, esosinofil, serta makrofag di dalam dan sekitar pembuluh darah yang terinfeksi. Nah, infiltrasi inilah yang menyebabkan terjadi proliferasi jaringan ikat dan menyebabkan pembuluh limfe di sekelilingnya menjadi berkelok-kelok serta menyebabkan rusaknya katup-katup di sepanjang pembuluh limfe tersebut. Akibatnya, limfedema dan perubahan statis-kronis dengan edema pada kulit di atas pembuluh tersebut menjadi tak terhindarkan lagi.





  BAB  IV
MANIFESTASI KLINIS    
                 
   Ada 2 tipe onkosersiasi
1.      Tipe forest di mana kelainan kulit lebih dominan
2.      Tipe savana di mana kelainan mata yang dominan

       Manifestasi  onkosersiasis terutama berupa kelainan pada kulit, sistem limfatik dan mata.

      Ada dua macam proses patologi yang di timbulkan parasit ini, pertama oleh cacing dewasa yang hidup dalam jaringan ikat yang merangsang pembentukan serat-serat yang mengelilingi cacing dalam jaringan, kedua oleh mikrofilaria yang di keluarkan oleh cacing betina dan ketika mikrofilaria beredar dalam jaringan menuju kulit. Pada umumnya lesi  mengenai kulit dan mata. Kelainan yang disebabkan oleh cacing dewasa merupakan benjolan-benjolan yang dikenal sebagai onserkoma dalam jaringan subkutan. Ukuran benjolan bermacam-macam dari yang kecil sampai sebesar lemon. Jumlah benjolanpun bermacam-macam dari sedikit sampai lebih dari seratus. Letak benjolan biasanya di atas tonjolan-tonjolan tulang seperti pada skapula, iga, tengkorak, siku-siku, krista iliaka lutut dan sakrum dan menyebabkan kelainan kosmetik. Benjolan dapat di gerak-gerakkan dan tidak terasa sakit (nyeri). Kelainan yang ditimbulkan oleh mikrofilaria lebih hebat dari pada oleh cacing dewasa karena mikrofilaria dapat menyerang mata dan menimbulkan gangguan pada syaraf-syaraf optik dan retina mata. Ada beberapa anggapan tentang patologi kelainan mata. Yaitu :
            1). Reaksi mekanik atau reaksi sekret yang di keluarkan oleh mikrofilaria hidup.
            2). Toksin yang dihasilkan oleh mikrofilaria mati.
            3). Toksin dari cacing dewasa .
            4). Penderita supersensitif terhadap parasit.

Pertama-tama gejala yang timbul iyalah fotofobia, lakrimasi, blefarospasmus dan sensasi dari benda asing. Kelainan mata lebih banyak ditemukan pada penduduk dengan banyak benjolan di bagian atas badan. Reaksi radang tidak begitu hebat bila mikrofilaria masih dalam keadaan hidup tetapi reaksi radang makin hebat bila mikrofilaria banyak yang mati. Hal iniperlu di perhatikan pada waktu pengobatan. Sering ditemukan limbitis dengan pingmentasi coklat. Pada kasus menahun dapat terjadi keratitis berbintik, glaukoma, atrofi yang berakhir dengan kebutaan. Pruritic dermatitis disebabkan oleh karena gerakan mikrofilaria dan toksin yang dilepaskanya dalam kulit. Timbul rasa yang berupa lingkaran-lingkaran papel kecil-kecil yang berdiameter  1-3 mm. Kemudian timbul edema kulit, kulit menebal dan terjadi likenifikasi. Kulit kehilangan elastisitasnya dan menimbulkan keadaan yang disebut  hanging groin, yaitu kulit menggantung dalam lipatan-lipatan dibawah inguinal.






















BAB V
PENCEGAHAN
               
              Tempat perlindungan vektor  (Simulium) terdapat di daerah pegunungan yang mempunyai air sungai yang deras. Lalat ini suka menggigit manusia di sekitar sungai tempat perindukannya. Penyakit ditemukan baik pada orang dewasa maupun pada anak. Infeksi yang menahun seringkali diakhiri dengan kebutaan. Kebutaan terjadi pada penduduk yang berdekatan dengan sungai, makin jauh dari sungai kebutaan makin kurang dan oleh karena itu penyakit ini dikenal dengan river blindness.
            Pencegahan dilakukan dengan menghin dari gigitan lalat Simulium ataw memakai pakaian tebal yang menutupi seluruh tubuh.














BAB VI
PENGOBATAN
                 
             Dietikarbamasin tidak lagi dipakai mengikat efek sampimgnya yang berat. Obat yang dipakai adalah Invermectin baik untuk pengobatan masal maupun selektif
1.      Infermectin merupakan obat pilihan degan dosis 150 Kg berat badan, diberikan satu atau dua kali pertahun pada pengobatan masal. Untuk pengobatan individu, dapat diberikan pada dosis 100 – 150 Kg berat badan dan diulangi setiap dua minggu, bulan atau 3 bulan hingga mencapai dosis total 1,8 Kg berat badan. Obat ini tidak diberikan kepada anak-anak di bawah 5 tahun atau beratnya kurang dari 15 Kg, ibu hamil, menyusui atau orang dengan sakit berat. Infermectin (Mectizan ) mempunyai efek yang kuat dalam membunuh mikrofilaria. Efek samping (mirip dengan Mazotti reaction pada pemberian DEC), jaringan terjadi dan jauh lebih ringan berupa : gatal-gatal, erupsi kulit, nyeri otot tulang, edema tungkai dan wajah, demam, pembesaran kelenjar disertai nyeri. Efek samping dapat diatasi dengan analgesik dan kortikosteroid. Pada pemberian selanjutnya efek samping semakin berkurang. Ivermectin mempunyai efek yang kuat dalam membunuh mikrofilaria tapi tidak terdapat cacing dewasa.
2.      Suramin merupakan satu-satunya obat yang membunuh cacing dewasa O.volvulus tetapi jarang dipakai mengingat cara pemberiannya yang relatif sulit dan toksiksitasnya tinggi.


Penggunaanya hanya :
a.       Untuk pengobatan kuratif yang selektif di daerah yang tak ada transmisi atau pada orang yang meninggalkan daerah edemik O.volvulus.
b.      Pada kasus-kasus onkodermatitis hiperreaktif dan berat dimana gejala-gejala tak dapat dikendalikan dengan infermectin dosis berulang.


BAB  VII
DAFTAR PUSTAKA

Wolrd Health Organization (WHO),  1987 Control of lympphatic filariasis : A manual.
WHO (1992) lympatic filariasis : The disease and its control. Fifth Report of the WHO Expert Committee on Filariasis.
Williams SA, et  al  A Polymerase chain reaction assay for the detection of  Wuchereria bancrofti  in       blood samples from French Polynesia. Trans R Soc  Trop Med Hyg, 1996; 90:387-9.
Freedmann DO, et al Lympphoscintigraphic an alysis of lymphatic abnormalities in symptomatic and     asimptomatic  human filariasis. J Infect Dis, 1994;170;927-33.
Weil GJ, et al. A monoclonal antibody-based enzyme immunoassay for detecting parasite antigenemia in bancroftian filariasis. J Infect Dis, 1987;350-55.
WHO (1994). Lymphatic filariasis infection and disease : Control strategies, TDR/CTD/FIL/Penang/ 94.
More SJ and compeman DB. A highly specific and sensitive monoclonal antibody based ELISA for  the detection of circulating antigen in bancroftion filariasis. Trop Med Parasitol, 1990;41;403-6.
Budy DAP, Grenfell BT, Rajagopalan PK. Immuno-epidemiologi of lymphatic filariasis: The relationship between infection and diseases Immunoparasitol Today, 1991:A71-A75.
Partono F, Maizels RM and Purnomo. Towards a filariasis-free community: Evaluation of filariasis control over an eleven year period in Flores, Indonesia. Trans R Soc Trop Med Hyg,  1989;83:821-26.
WHO (1995). Onchocerciasis and its control: Report of a WHO Expert committee on onchocerciasis control.
Weil GJ, Lammie PJ, Weis N. The ICT filariasis test : a rapitd-format antigen test for diagnosis of bancroftian filariasis. Parasitol Today, 1997;13:401-4.
Dreyer G, Amaral F, Noroes  J, Modeiros Z, Addis D. A new  tool to assess the adulticidal efficacy in vivo of anti filarial drug for bancroftian filariasis. Trans R soc Trop Med Hyg, 1995;89:225-8.
Craig, Faust. Clinical Parasitology, 8 thn ed. Lea and Febiger, Philadelphia, 1971. Kats M, Despommier DD, Gwadz R. Parasitic Diseases. Springer-Verlag New York, USA, 1982.                                                                       

Tidak ada komentar:

Posting Komentar