Ha seru ngumpul di depan kantor kampus kesehatan kesling, ada yang asyik nyanyi, dan yang lainnya lagi sibuk ngutak atik leptopx masing-masing...
Yuni, suaranya yang besar di tandingi dengan suaranya Yeni, ka Ama yang diam-diam dan ka Fika yang serius banget natap layar kaca leptopnya, ka Evin yang juga serius dengan bola matanya yang melotot menatap layar leptopnya dan ada juga bunda Sena yang nyari tugas untuk proposalnya mungkin yang sisa menghitung hari untuk ke Yogyakarta untuk studi trakhirnya..........
Serunya ternyata rame-rame online.....
ANDI.HARTINA
WAHYUNI DARMAN
YENI YULITA LAROPE
SENAWATI
RAHMAWATI
FIKA
EVHIN
Sabtu, 31 Maret 2012
VIRUS
PEMBAHASAN tentang VIRUS
_virus berukuran 20-250 nm.
_virus biasanya dapat dilihat dengan mikroskop elektron.
sebagai parasit intraseluler obligat, virus tidak mampumelakukan metabolisme sendiri dan hanya bisa bereproduksi dalam sel inang.
-inang yang di infeksi antara lain bakteri, sel tumbuh-tumbuhan, sel hewan, sel manusia dan sel pada kultur jaringan.
-virus yang menginfeksi manusia dapat menyebabkan penyakit seperti AIDS, cacar air, hepatitis dan polio.
virus memiliki komposisi yang unik :
-beberapa virus terdiri atas asm nukleat yang membawa kode genetik virus
-virus DNA terdiri dari DNA
-virus RNA terdiri dari RNA
-virus mengandung protein yang tersusun dalam bentuk filamen.
Morfologi Virus
secara umum morfologi virus lebih sederhana dari morfologi bakteri, dimana partikel virus mempunyai inti berbentuk batang yang terdiri dari asam nukleat dan selaput inti yang berupa protein yang disebut kapsid. selaput (envelope) yang diperoleh dari membran sel inang berfungsi untuk melindungi kapsid virus dari antigen inang.
-virus yang mempunyai selaput cenderung lebih resisten terhadap sistem imun inang.
-virus tanpa envelope umumnya terdapat pada tumbuh-tumbuhan.
Inang Virus
virus menempel di reseptor spesifik pada sel inang.
- kemampuan virus untuk menginfeksi organisme tergantung kepada jenis dan ketersedianya reseptor pada sel inang.
- virus tumbuhan hanya cenderung menginfeksi tumbuhan.
- reseptor merupakan protein pada permukaan sel.
setelah virus memasuki sel inang melalui reseptor, virus mengambil alih metabolisme sel inang dan menggunakan komponen sel inang untuk memproduksi pertikel virus yang baru.
- virus DNA diproduksi secara langsung, sel inang membentuk komponen virus dari intruksi genetik virus DNA
- virus RNA menginduksi pembentukan mRNA atau enzim transkriptase untuk mencetak RNA virus menjadi DNA yang digunakan oleh sel inang.
Virus yang dihasilkan kemudian dikeluarkan dari sel inang dan menularkan infeksi aktif pada hewan dan manusia. pelepasan pertikel virus tersebut mendorong sistem imunitas untuk melepaskan interferon dan membentuk antibodi.
lama inkubasi virus yang menyebabkan penyakit berkisar antara berhari-hari sampai bertahun-tahun.
beberapa infeksi seperti penyakit gondok, cacar air mempunyai inkubasi beberapa hari sedangkan untuk HIV masa inkubasinya 5-10 tahun.
BAB I
LATAR BELAKANG
O’Neill meneliti mikrofilaria parasit ini di dalam kulit seorang penderita di Afrika Barat pada tahun 1875. Kemudian seorang dokter Jerman menemukan cacing dalam benjolan kulit dari orang Negro di Ghana, Afrika Barat, lalu di namakan sebagai Filaria volvulus oleh Leuckard 1893. Tahun 1915 Robles menemukan cacing Onchocerca di Guatemala dan oleh Brumpt di identifikasi sebagai cacing Onchocerca caecutiens, tetapi kemudian di namakan cacing Onchocerca volvulus.
Hospes dan nama penyakit
Parasit ini di temukan pada manusia. Penyakitnya di sebut onkoserkosis, river blindness, blinding filariasis
BAB II
TAKSONOMI MARFOLOGI
Cacing dewasa hidup dalam jaringan ikat; melingkar satu dengan lainya seperti benang kusut dalam benjolan (tumor). Cacing betina berukuran 33,5 – 50 cm kali 270 – 400 mikron dan cacing jantan 19 – 42 mm kali 130 kali 210 mikron Bentuknya seperti kawat berwarna putih, opalesen dan transparan. Cacing betina yang gravid mengeluarkan mikrofilaria di dalam jaringan subkutan, kemudian mikrofilaria meninggalkan jaringan subkutan mencari jalan kekulit. Mikrofilaria mempunyai dua macam ukuranya yaitu 285 – 368 kali 6 – 9 mikron dan 150 – 287 kali 5 – 7 mikron. Bagian kepala dan ujung ekor tidak ada inti dan tidak mempunyai sarung. Bila lalat Simulium menusuk kulit dan mengisap darah manusia maka mikrofilaria akan tersimpan oleh lalat, kemudian mikrofilaria menembus lambung lalat. masuk kedalam otot toraks. Setelah 6 – 8 hari berganti kulit dua kali dan menjadi larva infektif. Larva infektif masuk kedalam probosis lalat dan dikeluarkan bila lalat mengisap darah manusia. Larva masuk lagi ke dalam jaringan ikat menjadi dewasa dalam tubuh hospes dan mengeluarkan mikrofilari a.
BAB III
SIKLUS HIDUP
Brugia malayi lazim ditemui di China, India, Korea, Jepang, Filipina, Malaysia, dan tentu saja Indonesia. Sementara Brugia timori merupakan satwa khas Indonesia yang hanya bisa ditemui di kepulauan Timor. Mirip dengan W.bancrofti, Brugia malayi memiliki juga memiliki dua bentuk periodisitas. Bedanya, biasanya B.malayi dengan periodisitas nokturnal ditemukan di daerah pertanian dengan vektor Anopheles atau Mansonia. Sedangkan spesies dengan periodisitas subperiodik ditemuakn di hutan-hutan dengan vektor Mansonia dan Coquilettidia (jarang).
Prinsip patologis penyakit filariasis bermula dari inflamasi saluran limfe akibat dilalui cacing filaria dewasa (bukan mikrofilaria). Cacing dewasa yang tak tahu diri ini melalui saluran limfe aferen atau sinus-sinus limfe sehingga menyebabkan dilatasi limfe pada tempat-tempat yang dilaluinya. Dilatasi ini mengakibatkan banyaknya cairan plasma yang terisi dari pembuluh darah yang menyebabkan penebalan pembuluh darah di sekitarnya.
Akibat kerusakan pembuluh, akan terjadi infiltrasi sel-sel plasma, esosinofil, serta makrofag di dalam dan sekitar pembuluh darah yang terinfeksi. Nah, infiltrasi inilah yang menyebabkan terjadi proliferasi jaringan ikat dan menyebabkan pembuluh limfe di sekelilingnya menjadi berkelok-kelok serta menyebabkan rusaknya katup-katup di sepanjang pembuluh limfe tersebut. Akibatnya, limfedema dan perubahan statis-kronis dengan edema pada kulit di atas pembuluh tersebut menjadi tak terhindarkan lagi.
BAB IV
MANIFESTASI KLINIS
Ada 2 tipe onkosersiasi
1. Tipe forest di mana kelainan kulit lebih dominan
2. Tipe savana di mana kelainan mata yang dominan
Manifestasi onkosersiasis terutama berupa kelainan pada kulit, sistem limfatik dan mata.
Ada dua macam proses patologi yang di timbulkan parasit ini, pertama oleh cacing dewasa yang hidup dalam jaringan ikat yang merangsang pembentukan serat-serat yang mengelilingi cacing dalam jaringan, kedua oleh mikrofilaria yang di keluarkan oleh cacing betina dan ketika mikrofilaria beredar dalam jaringan menuju kulit. Pada umumnya lesi mengenai kulit dan mata. Kelainan yang disebabkan oleh cacing dewasa merupakan benjolan-benjolan yang dikenal sebagai onserkoma dalam jaringan subkutan. Ukuran benjolan bermacam-macam dari yang kecil sampai sebesar lemon. Jumlah benjolanpun bermacam-macam dari sedikit sampai lebih dari seratus. Letak benjolan biasanya di atas tonjolan-tonjolan tulang seperti pada skapula, iga, tengkorak, siku-siku, krista iliaka lutut dan sakrum dan menyebabkan kelainan kosmetik. Benjolan dapat di gerak-gerakkan dan tidak terasa sakit (nyeri). Kelainan yang ditimbulkan oleh mikrofilaria lebih hebat dari pada oleh cacing dewasa karena mikrofilaria dapat menyerang mata dan menimbulkan gangguan pada syaraf-syaraf optik dan retina mata. Ada beberapa anggapan tentang patologi kelainan mata. Yaitu :
1). Reaksi mekanik atau reaksi sekret yang di keluarkan oleh mikrofilaria hidup.
2). Toksin yang dihasilkan oleh mikrofilaria mati.
3). Toksin dari cacing dewasa .
4). Penderita supersensitif terhadap parasit.
Pertama-tama gejala yang timbul iyalah fotofobia, lakrimasi, blefarospasmus dan sensasi dari benda asing. Kelainan mata lebih banyak ditemukan pada penduduk dengan banyak benjolan di bagian atas badan. Reaksi radang tidak begitu hebat bila mikrofilaria masih dalam keadaan hidup tetapi reaksi radang makin hebat bila mikrofilaria banyak yang mati. Hal iniperlu di perhatikan pada waktu pengobatan. Sering ditemukan limbitis dengan pingmentasi coklat. Pada kasus menahun dapat terjadi keratitis berbintik, glaukoma, atrofi yang berakhir dengan kebutaan. Pruritic dermatitis disebabkan oleh karena gerakan mikrofilaria dan toksin yang dilepaskanya dalam kulit. Timbul rasa yang berupa lingkaran-lingkaran papel kecil-kecil yang berdiameter 1-3 mm. Kemudian timbul edema kulit, kulit menebal dan terjadi likenifikasi. Kulit kehilangan elastisitasnya dan menimbulkan keadaan yang disebut hanging groin, yaitu kulit menggantung dalam lipatan-lipatan dibawah inguinal.
BAB V
PENCEGAHAN
Tempat perlindungan vektor (Simulium) terdapat di daerah pegunungan yang mempunyai air sungai yang deras. Lalat ini suka menggigit manusia di sekitar sungai tempat perindukannya. Penyakit ditemukan baik pada orang dewasa maupun pada anak. Infeksi yang menahun seringkali diakhiri dengan kebutaan. Kebutaan terjadi pada penduduk yang berdekatan dengan sungai, makin jauh dari sungai kebutaan makin kurang dan oleh karena itu penyakit ini dikenal dengan river blindness.
Pencegahan dilakukan dengan menghin dari gigitan lalat Simulium ataw memakai pakaian tebal yang menutupi seluruh tubuh.
BAB VI
PENGOBATAN
Dietikarbamasin tidak lagi dipakai mengikat efek sampimgnya yang berat. Obat yang dipakai adalah Invermectin baik untuk pengobatan masal maupun selektif
1. Infermectin merupakan obat pilihan degan dosis 150 Kg berat badan, diberikan satu atau dua kali pertahun pada pengobatan masal. Untuk pengobatan individu, dapat diberikan pada dosis 100 – 150 Kg berat badan dan diulangi setiap dua minggu, bulan atau 3 bulan hingga mencapai dosis total 1,8 Kg berat badan. Obat ini tidak diberikan kepada anak-anak di bawah 5 tahun atau beratnya kurang dari 15 Kg, ibu hamil, menyusui atau orang dengan sakit berat. Infermectin (Mectizan ) mempunyai efek yang kuat dalam membunuh mikrofilaria. Efek samping (mirip dengan Mazotti reaction pada pemberian DEC), jaringan terjadi dan jauh lebih ringan berupa : gatal-gatal, erupsi kulit, nyeri otot tulang, edema tungkai dan wajah, demam, pembesaran kelenjar disertai nyeri. Efek samping dapat diatasi dengan analgesik dan kortikosteroid. Pada pemberian selanjutnya efek samping semakin berkurang. Ivermectin mempunyai efek yang kuat dalam membunuh mikrofilaria tapi tidak terdapat cacing dewasa.
2. Suramin merupakan satu-satunya obat yang membunuh cacing dewasa O.volvulus tetapi jarang dipakai mengingat cara pemberiannya yang relatif sulit dan toksiksitasnya tinggi.
Penggunaanya hanya :
a. Untuk pengobatan kuratif yang selektif di daerah yang tak ada transmisi atau pada orang yang meninggalkan daerah edemik O.volvulus.
b. Pada kasus-kasus onkodermatitis hiperreaktif dan berat dimana gejala-gejala tak dapat dikendalikan dengan infermectin dosis berulang.
BAB VII
DAFTAR PUSTAKA
Wolrd Health Organization (WHO), 1987 Control of lympphatic filariasis : A manual.
WHO (1992) lympatic filariasis : The disease and its control. Fifth Report of the WHO Expert Committee on Filariasis.
Williams SA, et al A Polymerase chain reaction assay for the detection of Wuchereria bancrofti in blood samples from French Polynesia. Trans R Soc Trop Med Hyg, 1996; 90:387-9.
Freedmann DO, et al Lympphoscintigraphic an alysis of lymphatic abnormalities in symptomatic and asimptomatic human filariasis. J Infect Dis, 1994;170;927-33.
Weil GJ, et al. A monoclonal antibody-based enzyme immunoassay for detecting parasite antigenemia in bancroftian filariasis. J Infect Dis, 1987;350-55.
WHO (1994). Lymphatic filariasis infection and disease : Control strategies, TDR/CTD/FIL/Penang/ 94.
More SJ and compeman DB. A highly specific and sensitive monoclonal antibody based ELISA for the detection of circulating antigen in bancroftion filariasis. Trop Med Parasitol, 1990;41;403-6.
Budy DAP, Grenfell BT, Rajagopalan PK. Immuno-epidemiologi of lymphatic filariasis: The relationship between infection and diseases Immunoparasitol Today, 1991:A71-A75.
Partono F, Maizels RM and Purnomo. Towards a filariasis-free community: Evaluation of filariasis control over an eleven year period in Flores, Indonesia. Trans R Soc Trop Med Hyg, 1989;83:821-26.
WHO (1995). Onchocerciasis and its control: Report of a WHO Expert committee on onchocerciasis control.
Weil GJ, Lammie PJ, Weis N. The ICT filariasis test : a rapitd-format antigen test for diagnosis of bancroftian filariasis. Parasitol Today, 1997;13:401-4.
Dreyer G, Amaral F, Noroes J, Modeiros Z, Addis D. A new tool to assess the adulticidal efficacy in vivo of anti filarial drug for bancroftian filariasis. Trans R soc Trop Med Hyg, 1995;89:225-8.
Craig, Faust. Clinical Parasitology, 8 thn ed. Lea and Febiger, Philadelphia, 1971. Kats M, Despommier DD, Gwadz R. Parasitic Diseases. Springer-Verlag New York, USA, 1982.
Malaria
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Di Indonesia sampai saat ini penyakit malaria masih merupakan masalah kesehatan masyarakat. Angka kesakitan penyakit ini masih cukup tinggi, terutama di daerah Indonesia bagian timur. Di daerah trasmigrasi dimana terdapat campuran penduduk yang berasal dari daerah yang endemis dan tidak endemis malaria, di daerah endemis malaria masih sering terjadi letusan kejadian luar biasa (KLB) malaria Oleh karena kejadian luar biasa ini menyebabkan insiden rate penyakit malaria masih tinggi di daerah tersebut.
Berdasarkan Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) 2001, di Indonesia setiap tahunnya terdapat sekitar 15 juta penderita malaria klinis yang mengakibatkan 30.000 orang meninggal dunia (Depkes, 2003). Penularan malaria dipengaruhi beberapa faktor yaitu faktor parasit (plasmodium), faktor manusia (host), faktor nyamuk Anopheles (vektor), dan faktor lingkungan (Soejoeti, 1995). Nyamuk Anopheles merupakan salah satu jenis vektor dari penyakit malaria yang sudah meluas hampir di seluruh propinsi di Indonesia. Malaria termasuk penyakit yang penyebarannya luas, yakni di daerah daerah mulai 600 lintang utara sampai dengan 320 lintang selatan, dari daerah dengan ketinggian 2.666 m, sampai dengan daerah yang letaknya 433 m dibawah permukaan laut.
Indonesia menurut pengamatan terakhir terdapat sekitar 80 spesies Anopheles, sedangkan yang dinyatakan sebagai vektor malaria adalah sebanyak 22 spesies dengan tempat perindukan yang berbeda-beda.
Malaria adalah salah satu penyakit yang mempunyai penyebaran luas. Sampai saat ini malaria masih menjadi masalah kesehatan masyarakat Indonesia. Malaria sebagai salah satu penyakit infeksi disebabkan oleh infeksi protozoa dari genus Plasmodium, yang ditularkan dari orang ke orang melalui gigitan nyamuk Anopheles betina (Depkes RI, 2001). Penyakit ini tersebar luas di berbagai daerah, dengan derajat infeksi yang bervariasi. Di beberapa daerah yang telah belasan tahun tidak ada kasus malaria, tiba-tiba menjadi endemis kembali.
Lingkungan fisik meliputi suhu, kelembaban nisbi udara, hujan, ketinggian, angin, sinar matahari dan arus air. Lingkungan biologik keberadan tumbuh-tumbuhan yang dapat mempengaruhi nyamuk anopheles. Lingkungan sosial budaya berupa kebiasaan dan perilaku manusia terhadap lingkungan. Lingkungan fisik, biologik dan sosial budaya mempengaruhi terhadap proses transmisi malaria. ). Malaria mudah menyebar pada sejumlah penduduk, terutama yang bertempat tinggal di daerah persawahan, perkebunan, kehutanan maupun pantai (Anies, 2005).
B. Rumusan masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka rumusan yang dapat diangkat dalam penelitian ini adalah : Apakah keragaman spesies Anopheles berdasarkan jenis tanaman (lanskap) di Desa Lalundu Kec. Rio Pakava Beranekaragam?
C. Tujuan penelitian
1. Tujuan umum
Untuk mengetahui keragaman spesies Anopheles berdasarkan jenis tanaman (lanskap) di Desa Lalundu Kec. Rio Pakava Tahun 2011.
2. Tujuan khusus
Diketahuinya keragaman spesies Anopheles berdasarkan jenis tanaman (lanskap) di Desa Lalundu Kec. Rio Pakava Tahun 2011.
D. Manfaaat penelitian
1. Bagi institusi
Sebagai masukan / bahan bacaan pada perpustakaan Politeknik Kesehatan Kemenkes Palu Jurusan Kesehatan Lingkungan
2. Bagi instansi
Bagi instansi kesehatan dan instansi terkait merupakan bahan masukan pada puskesmas dan dinas kesehatan
3. Bagi Masyarakat
Merupakan sumber informasi kepada masyarakat, khususnya mengenai penyebab penyakit malaria yang di tularkan oleh nyamuk Anopheles.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian Malaria
Malaria adalah suatu istilah yang diperkenalkan oleh Dr. Francisco Torti pada abad ke 17, malaria berasal dari bahasa Itali Mal = kotor, sedangkan Aria = udara ”udara yang kotor” (Gandahusada, 2006). Malaria dapat menyerang manusia, burung, kera dan primata lainnya, hewan melata dan hewan pengerat yang disebabkan oleh infeksi protozoa dari genus plasmodium. Penyakit malaria pada manusia ada empat jenis dan masing-masing disebabkan spesies parasit yang berbeda. Jenis malaria itu adalah:
1) Malaria tertiana (paling ringan), yang disebabkan oleh Plasmodium vivax dengan gejala demam dapat terjadi setiap dua hari sekali setelah gejala pertama terjadi, ini dapat terjadi selama dua minggu setelah infeksi.
2) Demam rimba (jungle fever), malaria aestivo-autumnal atau disebut juga malaria tropika, disebabkan oleh P. falciparum. Plasmodium ini merupakan sebagian besar penyebab kematian akibat malaria. Organisme bentuk ini sering menghalangi jalan darah ke otak, menyebabkan koma, mengigau dan kematian
3) Malaria kuartana yang disebabkan P. malariae, memiliki masa inkubasi lebih lama dari pada penyakit malaria tertiana atau tropika, gejala pertama biasanya tidak terjadi antara 18 sampai 40 hari setelah infeksi terjadi. Gejala itu kemudian akan terulang lagi tiap tiga hari.
Malaria yang mirip malaria tertiana, malaria ini paling jarang ditemukan, dan disebabkan oleh P. ovale. Pada masa inkubasi malaria, protozoa tumbuh didalam sel hati, beberapa hari sebelum gejala pertama terjadi, organism tersebut menyerang dan menghancurkan sel darah merah sehingga menyebabkan demam (Prasetyo, 2006).
Parasit malaria yang terbanyak di Indonesia adalah Plasmodium falciparum dan Plasmodium vivax atau campuran keduanya, sedangkan Plasmodium. ovale dan Plasmodium malariae pernah ditemukan di Sulawesi, Irian Jaya dan Negara Timor Leste. Proses penularannya adalah dimulai nyamuk malaria yang mengandung parasit malaria, menggigit manusia sampai pecahnya sizon darah atau timbulnya gejala demam. Malaria disebabkan oleh sporozoa dari genus plasmodium yang ditularkan ke manusia oleh nyamuk Anopheles dengan gejala demam yang sering/periodik, anemia, pembesaran limpha dan berbagai kumpulan gejala lain karena pengaruhnya pada beberapa organ, misalnya otak, hati, dan ginjal. Malaria dijumpai hampir di seluruh pulau di Indonesia, disamping menyebabkan kesakitan dan kematian juga dapat menurunkan produktivitas kerja penderita (Rahmati, 2006).
B. Vektor Malaria
Nyamuk Anopheles di seluruh dunia terdapat kira-kira 2000 spesies, sedangkan yang dapat menularkan malaria kira-kira 60 spesies. Di Indonesia, menurut pengamatan terakhir ditemukan 80 spesies Anopheles, sedangkan yang menjadi vektor malaria adalah 22 spesies dengan tempat perindukan yang berbeda-beda (Gandahusada, 2006). Nyamuk yang menjadi vektor di Jawa dan Bali An. sundaicus, An. aconitus, An. balabacencis dan An. maculatus. Di daerah pantai banyak terdapat An. sundaicus dan An. subpictus, sedangkan An. balabacencis dan An. maculatus ditemukan di daerah non persawahan. Anopheles aconitus, An. barbirostrosis, An. tessellatus, An. nigerrimus dan An. sinensis di Jawa dan Sumatera tempat perindukan di sawah kadang di genangan-genangan air yang ada di sekitar persawahan. Di Kalimantan yang dinyatakan sebagai vektor adalah An. balabacensis, An. letifer. Malaria berkaitan erat dengan keadaan wilayah, di kawasan tropika seperti Indonesia penularan penyakit ini sangat rentan, karena keadaan cuaca yang mempunyai kelembaban tinggi akan memberikan habitat yang sesuai untuk pembiakan nyamuk yang menjadi vektor penularan kepada penyakit ini (Prasetyo, 2006).
C. Bionomik Nyamuk Malaria
1) Tempat Perindukan
Keberadaan nyamuk malaria di suatu daerah sangat tergantung pada lingkungan, keadaan wilayah seperti perkebunan, keberadaan pantai, curah hujan, kecepatan angin, suhu, sinar matahari, ketinggian tempat dan bentuk perairan yang ada. Nyamuk Anopheles aconitus dijumpai di daerah-daerah persawahan, tempat perkembangbiakan nyamuk ini terutama di sawah yang bertingkat-tingkat dan di saluran irigasi (Hiswani, 2004). Kepadatan populasi nyamuk ini sangat dipengaruhi oleh musim tanam padi (Sundararman dkk, 1957). Jentik-jentik nyamuk ini mulai ditemukan di sawah kira-kira pada padi berumur 2-3 minggu setelah tanam dan paling banyak ditemukan pada saat tanaman padi mulai berbunga sampai menjelang panen. Di daerah yang musim tanamnya tidak serempak dan sepanjang tahun ditemukan tanaman padi pada berbagai umur, maka nyamuk ini ditemukan sepanjang tahun dengan dua puncak kepadatan yang terjadi sekitar bulan Pebruari-April dan sekitar bulan Juli-Agustus (Barodji, 1987) Anopheles balabacencis dan An. maculatus adalah dua spesies nyamuk yang banyak ditemukan di daerah-daerah pegunungan non persawahan dekat hutan. Kedua spesies ini banyak dijumpai pada peralihan musim hujan ke musim kemarau dan sepanjang musim kemarau (Barodji dkk, 2001). Tempat perkembangbiakannya di genangan-genangan air yang terkena sinar matahari langsung seperti genganan air di sepanjang sungai, pada kobakan-kobakan air di tanah, di mata air-mata air dan alirannya, dan pada air di lubang batu-batu (Barodji, 1987).
Kepadatan jentik nyamuk An. balabacencis bisa ditemukan baik pada musim penghujan maupun pada musim kemarau. Jentik-jentik An. balabacencis ditemukan di genangan air yang berasal dari mata air, seperti penampungan air yang dibuat untuk mengairi kolam, untuk merendam bambu/kayu, mata air, bekas telapak kaki kerbau dan kebun salak. Dari gambaran di atas tempat perindukan An. balabacencis tidak spesifik seperti An. maculatus dan An. aconitus, karena jentik An. Balabacencis dapat hidup di beberapa jenis genganan air, baik genangan air hujan maupun mata air, pada umumnya kehidupan jentik An. balabacencis dapat hidup secara optimal pada genangan air yang terlindung dari sinar matahari langsung, diantara tanaman/vegetasi yang homogen seperti kebun salak, kebun kapulaga dan lain-lain (Barodji dkk, 2001). An. maculatus yang umum ditemukan di daerah pegunungan, ditemukan pula di daerah persawahan dan daerah pantai yang ada sungai kecil-kecil dan berbatu-batu (Barodji dkk, 2001).
Puncak kepadatan An. maculatus dipengaruhi oleh musim, pada musim kemarau kepadatan meningkat, hal ini disebabkan banyak terbentuk tempat perindukan berupa genangan air di pinggir sungai dengan aliran lambat atau tergenang. Perkembangbiakan nyamuk An. maculatus cenderung menurun bila aliran sungai menjadi deras (flushing) yang tidak memungkinkan adanya genangan di pinggir sungai sebagai tempat perindukan (Sunaryo, 2001) An. sundaicus dijumpai di daerah pantai, tempat perindukannnya adalah di air payau dengan salinitas antara 0-25 per mil, seperti rawa-rawa berair payau, tambak-tambak ikan tidak terurus yang banyak ditumbuhi lumut, lagun, muara-muara sungai yang banyak ditumbuhi tanaman air dan genangan air di bawah hutan bakau yang kena sinar matahari dan berlumut (Hiswani, 2004). An. sundaicus ditemukan sepanjang tahun dan paling banyak ditemukan pada pertengahan sampai akhir musim kemarau (September-Desember) (Sundararman dkk, 1957).
2) Tempat Istirahat
Tempat istirahat alam nyamuk Anopheles berbeda berdasarkan spesiesnya. Tempat istirahatnya An. aconitus pada pagi hari umumnya dilubang seresah yang lembab dan teduh, terletak ditengah kebun salak (Damar, 2002). Tempat istirahat An. aconitus pada umumnya ditempat yang mempunyai kelembaban tinggi dan intensitas cahaya rendah, serta di lubang tanah bersemak. An. aconitus hinggap di tempat-tempat dekat tanah (Anonimous, 1989). Nyamuk ini biasanya hinggap di daerah-daerah yang lembab, seperti di pinggir-pinggir parit, tebing sungai, dekat air yang selalu basah dan lembab (Hiswani, 2004). Tempat istirahat An. balabacencis pada pagi hari umumnya di lubang seresah yang lembab dan teduh, terletak ditengah kebun salak (Damar, 2002). An. balabacencis juga ditemukan di tempat yang mempunyai kelembaban tinggi dan intensitas cahaya yang rendah serta di lubang tanah bersemak (Harijanto, 2000). Di luar rumah tempat istirahat An. maculatus adalah di pinggiran sungai-sungai kecil dan di tanah yang lembab (sundararman dkk, 1957). Perilaku istirahat nyamuk An. sundaicus ini biasanya hinggap di dinding-dinding rumah penduduk (Hiswani,2004).
D. Lingkungan
1) Lingkungan Fisik
Menurut Harijanto (2000), Faktor geografi dan meterorologi di Indonesia sangat menguntungkan transmisi malaria di Indonesia, seperti :
a) Suhu
Nyamuk adalah binatang berdarah dingin sehingga proses metabolisme dan siklus kehidupannya tergantung pada suhu lingkungan, tidak dapat mengatur suhu tubuhnya sendiri terhadap perubahan-perubahan di luar tubuhnya. Nyamuk dapat bertahan hidup pada suhu rendah tetapi proses metabolismenya menurun bahkan terhenti bila suhu turun sampai suhu kritis. Pada suhu yang lebih tinggi dari 35 ºC, juga mengalami perubahan. Suhu rata-rata optimum untuk pertumbuhan nyamuk 25º – 27ºC. Toleransi suhu tergantung pada species nyamuknya, species nyamuk tidak tahan pada suhu 5º – 6ºC.
Kecepatan perkembangan nyamuk tergantung dari kecepatan metabolisme yang sebagian diatur oleh suhu seperti lamanya masa pra dewasa, kecepatan pencernaan darah yang dihisap, pematangan dari indung telur, frekuensi mengambil makanan atau mengigit berbeda-beda menurut suhu. Suhu juga mempengaruhi perkembangan parasit dalam nyamuk. Suhu yang optimum berkisar antara 20 dan 30º C. Makin tinggi suhu (sampai batas tertentu) makin pendek masa inkubasi ekstrinsik (siklus sporogoni dalam tubuh nyamuk) dan sebaliknya makin rendah suhu makin panjang masa inkubasi ekstrinsik.
b) Kelembaban nisbi udara
Kelembaban nisbi udara adalah banyaknya kandungan uap air dalam udara yang biasanya dinyatakan dalam persen (%). Kelembaban yang rendah memperpendek umur nyamuk, meskipun tidak berpengaruh pada parasit. Tingkat kelembaban 60 % merupakan batas paling rendah untuk memungkinkan hidupnya nyamuk. Kelembaban juga berpengaruh terhadap kemampuan terbang nyamuk. Badan nyamuk yang kecil mempunyai permukaan yang besar oleh karena sistem pernapasan dengan trachea. Pada waktu terbang, nyamuk memerlukan oksigen lebih banyak sehingga trachea terbuka. Dengan demikian penguapan air dari tubuh nyamuk menjadi lebih besar. Untuk mempertahankan cadangan air dalam tubuh dari penguapan, maka jarak terbang nyamuk terbatas. Kelembaban udara menjadi faktor yang mengatur cara hidup nyamuk, beradaptasi pada keadaan kelembaban yang tinggi dan pada suatu ekosistem kepulauan atau ekosistem hutan. Pada kelembaban yang lebih tinggi nyamuk menjadi lebih aktif dan lebih sering menggigit, sehingga meningkatkan penularan malaria.
c) Hujan
Hujan menyebabkan naiknya kelembaban nisbi udara dan menambah jumlah tempat perkembangbiakan (breeding places) dan terjadinya epidemi malaria. Besar kecilnya pengaruh tergantung pada jenis dan derasnya hujan, jenis vektor dan jenis tempat perindukan. Hujan yang diselingi panas akan memperbesar kemungkinan berkembang biaknya nyamuk Anopheles.
d) Ketinggian
Setiap ketinggian naik 100 meter maka selisih udara dengan tempat semula ½ ºC. Bila perbedaan tempat cukup tinggi, maka perbedaan suhu udara juga cukup banyak dan mempengaruhi faktor-faktor yang lain, termasuk penyebaran nyamuk , siklus pertumbuhan parasit di dalam nyamuk dan musim penularan.
Secara umum malaria berkurang pada ketinggian yang semakin bertambah pada ketinggian di atas 2000 m jarang ada transmisi malaria. Hal ini bisa berubah bila terjadi pemanasan global dan pengaruh El-Nino.
e) Angin
Angin secara langsung berpengaruh pada penerbangan nyamuk dan ikut menentukan jumlah kontak antara nyamuk dan manusia. Kecepatan angin 11 – 14 m/det atau 25 – 31 mil/jam akan menghambat penerbangan nyamuk.
f) Sinar matahari
Pengaruh sinar matahari terhadap pertumbuhan larva nyamuk berbeda-beda. An. sundaicus lebih suka tempat yang teduh. An. hyrcanus dan An. punctulatus lebih menyukai tempat yang terbuka. An. barbirostris dapat hidup baik di tempat yang teduh maupun yang terang.
g) Arus air
An. barbirostris menyukai perindukan yang airnya statis/ mengalir lambat, sedangkan An. minimus menyukai aliran air yang deras dan An. letifer menyukai air tergenang.
2) Lingkungan Biologik
Keadaan lingkungan sekitar penduduk seperti adanya tumbuhan salak, bakau, lumut, ganggang dapat mempengaruhi kehidupan larva, karena ia dapat menghalangi sinar matahari atau melindungi dari serangan mahluk hidup lainnya. Adanya berbagai jenis ikan pemangsa larva seperti ikan kepala timah (Panchax spp), gambusia, nila, mujair dan lain-lain akan mengurangi populasi nyamuk di suatu daerah. Begitu pula adanya hewan piaraan seperti sapi, kerbau dan babi dapat mempengaruhi jumlah gigitan nyamuk pada manusia, bila ternak tersebut kandangnya tidak jauh dari rumah.
3) Lingkungan Sosial Budaya
Sosial budaya juga berpengaruh terhadap kejadian malaria seperti: kebiasaan keluar rumah sampai larut malam, dimana vektornya bersifat eksofilik dan eksofagik akan memudahkan kontak dengan nyamuk. Tingkat kesadaran masyarakat tentang bahaya malaria akan mempengaruhi kesediaan masyarakat untuk memberantas malaria seperti penyehatan lingkungan, menggunakan kelambu, memasang kawat kasa pada rumah dan menggunakan racun nyamuk. Berbagai kegiatan manusia seperti pembuatan bendungan, pembuatan jalan, pertambangan dan pembangunan pemukiman baru/transmigrasi sering mengakibatkan perubahan lingkungan yang menguntungkan penularan malaria (Harijanto, 2000). Konflik antar penduduk yang menimbulkan peperangan dan perpindahan penduduk, serta peningkatan pariwisata dan perjalanan dari daerah endemik dapat menjadi faktor meningkatnya kasus malaria (Harijanto, 2000).
Hasil studi epidemiologi lingkungan memperlihatkan tingkat kesehatan masyarakat atau kejadian suatu penyakit dalam suatu kelompok masyarakat merupakan resultance dan hubungan timbal balik antara masyarakat itu sendiri dengan lingkungan. Pada gilirannya, sebagai unsur yang terlibat langsung dalam hubungan timbal balik tersebut, apapun yang terjadi sebagai dampak dari proses interaksi berupa perubahan lingkungan akan menimpa dan dirasakan masyarakat. Dalam kasus-kasus tertentu, kehidupan nyamuk di habitatnya, entah di Pantai, hutan atau gunung sudah demikian harmonis dan mengikuti keseimbangan alam. Nyamuk hutan atau gunung, misalnya mereka sebelumnya cukup memenuhi kebutuhan darahnya untuk keperluan pertumbuhan telurnya dari tubuh binatang yang ada di Hutan. Tanpa harus mengejar manusia, manusiapun relatif terhindar dari gigitan nyamuk. Namun seiring dengan rusaknya lingkungan ekosistem hutan, kehidupan dan keseimbangan alami tempat hidup mereka pun terganggu. Nyamuk pun menulari sumber dan lokasi kehidupan baru. Orang-orang sehat yang keluar masuk hutan, terpaksa harus menerima gigitan nyamuk dan pulang membawa parasit di dalam darahnya. Demikian pula penduduk yang bermukim disekitar hutan menjadi sasaran terdekat nyamuk-nyamuk hutan yang mencari sumber kehidupan mereka.
E. CARA PENULARAN PENYAKIT MALARIA .
Penyakit malaria dikenal ada berbagai cara penularan malaria:
1) Penularan secara alamiah (natural infection) penularan ini terjadi melalui gigitan nyamuk anopheles.
2) Penularan yang tidak alamiah.
a) Malaria bawaan (congenital).
Terjadi pada bayi yang baru dilahirkan karena ibunya menderita malaria, penularan terjadi melalui tali pusat atau placenta.
b) Secara mekanik.
Penularan terjadi melalui transfusi darah atau melalui jarum suntik. Penularan melalui jarum suntik yang tidak steril lagi. Cara penularan ini pernah dilaporkan terjadi disalah satu rumah sakit di Bandung pada tahun 1981, pada penderita yang dirawat dan mendapatkan suntikan intra vena dengan menggunakan alat suntik yang dipergunakan untuk menyuntik beberapa pasien, dimana alat suntik itu seharusnya dibuang sekali pakai (disposeble).
c) Secara oral (Melalui Mulut).
Cara penularan ini pernah dibuktikan pada burung, ayam (P.gallinasium) burung dara (P.Relection) dan monyet (P.Knowlesi). Pada umumnya sumber infeksi bagi malaria pada manusia adalah manusia lain yang sakit malaria baik dengan gejala maupun tanpa gejala klinis. Kecuali bagi 5 simpanse di Afrika yang dapat terinfeksi oleh Penyakit Malaria, belum diketahui ada hewan lain yang dapat menjadi sumber bagi plasmodia yang biasanya menyerang manusia Infeksi malaria pada waktu yang lalu sengaja dilakukan untuk mengobati penderita neurosifilis yaitu penderita sifilis yang sudah mengalami kelainan pada susunan sarafnya cara ini sekarang tidak pernah lagi dilakukan.
Beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya penularan alamiah seperti adanya gametosit pada penderita, umur nyamuk kontak antara manusia dengan nyamuk dan lain-lain.
F. GEJALA KLINIS.
Adalah penyakit malaria yang ditemukan berdasarkan gejala-gejala klinis dengan gejala utama demam mengigil secara berkala dan sakit kepala kadang-kadang dengan gejala klinis lain sebagai berikut :
• Badan terasa lemas dan pucat karena kekurangan darah dan berkeringat.
• Nafsu makan menurun.
• Mual-mual kadang-kadang diikuti muntah.
• Sakit kepala yang berat, terus menerus, khususnya pada infeksi dengan plasmodium Falciparum.
• Dalam keadaan menahun (kronis) gejala diatas, disertai pembesaran limpa.
• Malaria berat, seperti gejala diatas disertai kejang-kejang dan penurunan.
• Pada anak, makin muda usia makin tidak jelas gejala klinisnya tetapi yang menonjol adalah mencret (diare) dan pusat karena kekurangan darah (anemia) serta adanya riwayat kunjungan ke atau berasal dari daerah malaria.
• Gejala klasik malaria merupakan suatu paroksisme biasanya terdiri atas 3 stadium yang berurutan yaitu :
1. Stadium dingin (cold stage).
2. Stadium demam (Hot stage).
3. Stadium berkeringat (sweating stage).
Ketiga gejala klinis tersebut diatas ditemukan pada penderita berasal dari daerah non endemis yang mendapat penularan didaerah endemis atau yang pertama kali menderita penyakit malaria.
Di daerah endemis malaria ketiga stadium gejala klinis di atas tidak berutan dan bahkan tidak semua stadium ditemukan pada penderita sehingga definisi malaria klinis seperti dijelaskan sebelumnya dipakai untuk pedoman penemuan penderita di daerah endemisitas. Khususnya di daerah yang tidak mempunyai fasilitas laboratorium serangan demam yang pertama didahului oleh masa inkubasi (intrisik). Masa inkubasi ini bervariasi antara 9 -30 hari tergantung pada species parasit, paling pendek pada plasmodium Falciparum dan paling panjang pada plasmodium malaria. Masa inkubasi ini tergantung pada intensitas infeksi, pengobatan yang pernah didapat sebelumnya dan tingkat imunitas penderita. Cara penularan, apakah secara alamiah atau bukan alamiah, juga mempengaruhi. Penularan bukan alamiah seperti penularan malalui transfusi darah, masa inkubasinya tergantung pada jumlah parasit yang turut masuk bersama darah dan tingkat imunitas penerima arah. Secara umum dapat dikatakan bahwa masa inkubasi bagi plasmodium falciparum adalah 10 hari setelah transfusi, plasmodium vivax setelah 16 hari dan plasmodium maJariae setelah 40 hari lebih. Masa inkubasi pada penularan secara alamiah bagi masing-masing species parasit adalah sebagai berikut :
• Plasmodium Falciparum 12 hari.
• Plasmodium vivax dan Plasmodium Ovate 13 -17 hari.
• Plasmodium maJariae 28 -30 hari.
Beberapa strain dari Plasmodium vivax mempunyai masa inkubasi yang jauh lebih panjang yakni sampai 9 bulan. Strain ini terutama dijumpai didaerah Utara dan Rusia nama yang diusulkan untuk strain ini adalaJl plasmodium vivax hibernans.
G. GEJALA KLASIK MALARIA
a) Stadium dingin.
Stadium ini mulai dengan menggigil dan perasaan yang sangat dingin. Gigi gemeretak dan penderita biasanya menutup tubuhnya dengan segala macam pakaian dan selimut yang tersedia nadi cepat tetapi lemah. Bibir dan jari jemarinya pucat kebiru-biruan, kulit kering dan pucat. Penderita mungkin muntah dan pada anak-anak sering terjadi kejang. Stadium ini berlangsung antara 15 menit sampai 1 jam.
b) Stadium Demam.
Setelah merasa kedinginan, pada stadium ini penderita merasa kepanasan. Muka merah, kulit kering dan terasa sangat panas seperti terbakar, sakit kepala menjadi –jadi dan muntah kerap terjadi, nadi menjadi kuat lagi. Biasanya penderita merasa sangat hasil dan suhu badan dapat meningkat sampai 41°C atau lebih. Stadium ini berlangsung antara 2 sampai 4 jam. Demam disebabkan oleh pecahnya sison darah yang telah matang dan masuknya merozoit darah kedalam aliran darah. Pada plasmodium vivax dan P. ovate sison-sison dari setiap generasi menjadi matang setiap 48 jam sekali sehingga demam timbul setiap tiga hari terhitung dari serangan demam sebelumnya. Nama malaria tertiana bersumber dari fenomena ini. Pada plasmodium malariaa, fenomena tersebut 72 jam sehingga disebut malaria P. vivax/P. ovale, hanya interval demamnya tidak jelas. Serangan demam di ikuti oleh periode laten yang lamanya tergantung pada proses pertumbuhan parasit dan tingkat kekebalan yang kemudian timbul pada penderita.
c) Stadium Berkeringat.
Pada stadium ini penderita berkeringat banyak sekali sampai-sampai tempat tidurnya basah. Suhu badan meningkat dengan cepat, kadang-kadang sampai dibawah suhu normal. Penderita biasanya dapat tidur nyenyak. Pada saat bangun dari tidur merasa lemah tetapi tidak ada gejala lain, stadium ini berlangsung antara 2 sampai 4 jam. Gejala-gejala yang disebutkan diatas tidak selalu sama pada setiap penderita, tergantung pada species parasit dan umur dari penderita, gejala klinis yang berat biasanya teljadi pada malaria tropika yang disebabkan oleh plasmodium falciparum.
Hal ini disebabkan oleh adanya kecenderungan parasit (bentuk trofosoit dan sison). Untuk berkumpul pada pembuluh darah organ tubuh seperti otak, hati dan ginjal sehingga menyebabkan tersumbatnya pembuluh darah pada organ-organ tubuh tersebut. Gejala mungkin berupa koma/pingsan, kejang-kejang sampai tidak berfungsinya ginjal. Kematian paling banyak disebabkan oleh jenis malaria ini. Kadang–kadang gejalanya mirip kholera atau dysentri. Black water fever yang merupakan gejala berat adalah munculnya hemoglobin pada air seni yang menyebabkan warna air seni menjadi merah tua atau hitam. Gejala lain dari black water fever adalah ikterus dan muntah-muntah yang warnanya sama dengan warna empedu, black water fever biasanya dijumpai pada mereka yang menderita infeksi P. falcifarum yang berulang -ulang dan infeksi yang cukup berat.
H. VEKTOR MALARIA DI INDONESIA
Indonesia merupakan daerah yang sangat luas yang terdiri dari pulau-pulau dari Sabang sampai Merauke. Vektor penyakit malaria di Indonesia melalui nyamuk anopheles. Anopheles dapat disebut vektor malaria disuatu daerah, apabila species anopheles tersebut di daerah yang bersangkutan telah pernah terbukti positif mengandung sporosoit didalam kelenjar ludahnya. Disuatu daerah tertentu apabila terdapat vektor malaria dari salah satu species nyamuk anopheles, belum tentu di daerah lain juga mampu menularkan penyakit malaria. Nyamuk anopheles dapat dikatakan sebagai vektor malaria apabila memenuhi suatu persyaratan tertentu diantaranya seperti yang di sebutkan dibawah ini.
1. Kontaknya dengan manusia cukup besar.
2. Merupakan species yang selalu dominan.
3. Anggota populasi pada umumnya berumur cukup panjang, sehingga memungkinkan perkembangan dan pertumbuhan plasmodium hingga menjadi sporosoit
4. Ditempat lain terbukti sebagai vektor Ada beberapa jenis vektor malaria yang perlu diketahui diantaranya:
a) An. Aconitus.
b) An. Sundaicus.
c) An. Maculatus.
d) An. Barbirostris.
1) An. Aconitus
Vektor An. Aconitus pertama sekali ditemukan oleh Donitz pada tahun 1902. Vektor jenis An. aconitus betina paling sering menghisap darah ternak dibandingkan darah manusia.Perkembangan vektor jenis ini sangat erat hubungannya dengan lingkungan dimana kandang ternak yang ditempatkan satu atap dengan rumah penduduk. Vektor Aconims biasanya aktif mengigit pada waktu malam hari, hampir 80% dari vektor ini bisa dijumpai diluar rumah penduduk antara jam 18.00 -22.00. Nyamuk jenis Aconitus ini hanya mencari dm-ah didalam rumah penduduk. Setelah itu biasanya langsung keluar. Nyamuk ini biasanya suka hinggap didaerah-daerah yang lembab. Seperti dipinggir-pinggir parit, tebing sungai, dekat air yang selalu basah dan lembab.
Tempat perindukan vektor Aconitus terutama didaerah pesawahan dan saluran irigasi. Persawahan yang berteras merupakan tempat yang baik untuk perkembangan nyamuk ini. Selain disawah, jentik nyamuk ini ditemukan pula ditepi sungai yang airnya mengalir perlahan dan kolam air tawar. Distribusi dari An- Aconims, terdapat hubungan antara densitas dengan umur padi disawah. Densitas mulai meninggi setelah tiga - empat minggu penanaman padi dan mencapai puncaknya setelah padi berumur lima sampai enam minggu.
2) An. Sundaicus
An. Sundaictus pertama sekali ditemukan oleh Rodenwalt pada tahun 1925. Pada vektor jenis ini umurnya lebih sering menghisap darah manusia dari pada darah binatang. Nyamuk ini aktif menggigit sepanjang malam tetapi paling sering antara pukul 22.00 - 01.00 dini hari. Pada waktu malam hari nyamuk masuk ke dalam rumah untuk mencari darah, hinggap didinding baik sebelum maupun sesudah menghisap darah. Perilaku istirahat nyamuk ini sangat berbeda antara lokasi yang satu dengan lokasi yang lainnya. hingga siang hari, jenis vektor An. Sundaicus istirahat dengan hinggap didinding rumah penduduk. Jarak terbang An. Sundaicus betina cukup jauh. Pada musim densitas tinggi, masih dijumpai nyamuk betina dalam jumlah cukup banyak disuatu tempat yang berjarak kurang lebih 3 kilometer (Km) dari tempat perindukan nyamuk tersebut .
Vektor An. Slmdaicus biasanya berkembang biak di air payau, yaitu campuran antara air tawar dan air asin, dengan kadar garam optimum antara 12% -18%. Penyebaran jentik ditempat perindukan tidak merata dipermukaan air, tetapi terkumpul ditempat-tempat tertutup seperti diantara tanaman air yang mengapung, sampah dan rumput - rumput dipinggir Sungai atau pun parit. Genangan air payau yang digunakan sebagai tempat berkembang biak, adalah yang terbuka yang mendapat sinar matahari langsung. Seperti pada muara sungai, tambak ikan, galian -galian yang terisi air di sepanjang pantai dan lain -lain.
3) An. Maculatus.
Vektor An. Maculatus pertama sekali ditemukan oleh Theobaldt pada tahun 1901. Vektor An. Maculatus betina lebih sering mengiisap darah binatang daripada darah manusia. Vektor jenis ini akti fmencari darah pada malam hari antara pukul 21.00 hingga 03.00 Wib. Nyamuk ini berkembang biak di daerah pegunungan. Dimana tempat perindukan yang spesifik vektor An. Maculatus adalah di sungai yang kecil dengan air jernih, mata air yang mendapat sinar matahari langsung. Di kolam dengan air jemih juga ditemukan jentik nyamuk ini, meskipun densitasnya rendah. Densitas An. Maculatus tinggi pada musim kemarau, sedangkan pada musim hujan vektor jenis ini agak berkurang karena tempat perindukan hanyut terbawa banjir.
4) An. Barbirostris.
Vektor An. Barbirotris pertama sekali diidentifikasi oleh Van der Wulp pada tahun 1884. Jenis nyamuk ini di Sumatera dan Jawa jarang dijumpai menggigit orang tetapi lebih sering dijumpai menggigit binatang peliharaan. Sedangkan pada daerah Sulawesi, Nusa Tenggara Timur dan Timor- Timur nyamuk ini lebih sering menggigit manusia daripada binatang. Jenis nyamuk ini biasanya mencari darah pada waktu malam hingga dini hari berkisar antara pukul 23.00 -05.00. Frekuensi mencari darah tiap tiga hari sekali. Pada siang hari nyamuk jenis ini hanya sedikit yang dapat ditangkap, didalam rumah penduduk, karena tempat istirahat nyamuk ini adalah di alam terbuka. paling sering hinggap pada pohon-pohon seperti pahon kopi, nenas dan tanaman perdu disekitar rumah. Tempat berkembang biak (Perindukan) vektor ini biasanya di sawah –sawah dengan saluran irigasinya kolam dan rawa-rawa. Penyebaran nyamuk jenis ini mempunyai hubungan cukup kuat dengan curah hujan disuatu daerah.
Langganan:
Postingan (Atom)